Cerita Angin dan Sepenggal Doa Niala bagian 2


Cerita Angin dan Sepenggal Doa Niala bagian  - Di teras rumah terlihat seorang lelaki berumur sekitar 40 tahunan sedang meneguk secangkir kopi hitam. Disampingnya seorang perempuan dengan bocah perempuan berusia 5 tahun, tengah bercerita dengan begitu meyakinkan. Nia baru memasuki halaman rumah, saat sebuah suara memanggilnya.
“Nia!”
“Papa!”
Dia berlari mendekati  sumber suara itu dan berhambur memeluknya erat. Air matanya meleleh membasahi kemeja biru papanya. Rasanya dia tak ingin lagi melepas pelukan itu, rasa lelah dan rindunya selama ini seolah ingin ia tumpahkan dalam pelukan, lelaki kurus di hadapannya.
“Nia, kamu sekarang agak kurusan ya?” ucap lelaki itu, sambil menggendong Nia.
“Iya, Mas. Nia disini memang agak susah makannya. Terus jarang tidur siang, kerjaannya main terus.” Seloroh bu lek-nya tanpa diminta.
Nia hanya terdiam. Percuma saja dia menyangkal, papanya pasti lebih percaya pada Bu lek-nya. Sejenak di bisa terbebas dari semua tugas-tugas yang biasa ia emban, seperti mencuci,menyapu rumah dan halaman, dan segala pekerjaan lain yang terasa begitu berat untuk ditanggung anak seumurannya. Sore itu Nia merasa sangat bahagia, karena ada papa disisinya. Dia banyak bercerita tentang kegiatannya selama disini. Selepas isya, tatkala Nia baru tiba dari mengaji di langgar kecil sebelah rumah, ia melihat papanya sedang berbenah di dalam kamar.
“Pa, mau kemana? Pakaiannya rapi sekali.” Sapa Nia saat baru sampai di depan pintu kamarnya.
“Nia, sudah pulang ya Nak? Sini….” Jawab Papanya seraya berisyarat agar Nia mendekat.
“Sayang, malam ini juga Papa harus ke Surabaya. Dari sana papa harus terbang lagi ke Jakarta.”  Kata Papa sambil memangku tubuh Nia.
“Aku mau ikut Papa aja.” Ucap Nia dengan tertunduk. Matanya mulai berembun.
“Nia tidak suka ada disini?”
Nia hanya menjawab dengan anggukan dan semakin tertunduk dalam.
“Kenapa, Nak?”
Belum sempat Nia menjawab, seorang wanita bernama Tutik tiba-tiba datang dan memecah percakapan bapak dan anak itu.
“Mas, ayo makan malam dulu. Katanya mobilnya jemput jam 8? Ini sudah ja setengah 8 loo. Ayo Nia juga ikut makan ya, Nak.” Perkataannya seolah dibuat-buat.
“Iya, Tut. Sebentar lagi kita keluar. Aku mau ngomong sama anakku yang paling cantik ini.”
Setelah wanita bernama Wati itu pergi.
“Nak. Papa sayang sama Nia. Papa mau cari uang yang banyak dulu, lalu kita beli rumah lagi di Surabaya. Nanti kita bisa bareng-bareng lagi. Papa, Kak Dimas, dan juga Nia. Sekarang Nia disini yang sabar dulu ya. Doakan Papa sama Kak Dimas supaya selalu dilindungi Allah.” Ucap lelaki paruh baya itu penuh dengan kesabaran.
“Papa, janji ya. Mau jemput Nia?”
“Tentu sayang.”
***
Malam itu akhirnya Nia harus berpisah dengan Papanya, hanya sekitar 6 jam mereka bersama, setelah berbulan-bulan mereka tak bertemu. Walaupun berat, Nia harus tetap bersabar. Rasanya ingin segera saat itu tiba, saat-saat dimana papanya menjemputnya dan hidup bersama bertiga di Surabaya.Nia sudah bersiap akan tidur, ia duduk diatas ranjangnya yang sudah reot sambil memandang ke luar jendela. Ke arah ribuan bintang-bintang yang terus memuji nama Tuhannya.
“Ya Allah , sedang apa mamaku sekarang? Apa dia sedang bersiap tidur juga sepertiku?”
“Ya Allah, disini aku sangat merindukannya. Apa dia juga rindu padaku?”
Air mata Nia berlinangan,membasahi kedua pipi putihnya.Teringat saat keluarganya utuh, dan hidup bersama. Letih sekali kehidupannya hari ini, akhirnya ia baringkan tubuh kurusnya. Jendela kamarnya tetap terbuka, dan aku terus memperhatikannya.
Ahhh, andai aku bisa berbuat sesuatu untukmu,Nia. Namun aku hanyalah angin, yang tugasku hanya terus berhembus dan berhembus ke penjuru bumi.  Lebih baik sekarang aku pergi, aku tak mau kehadiranku menambah dinginnya kehampaan jiwamu. Esok-ku kan menemani setiap langkahmu lagi, untuk terus berbisik dan memelukmu. -(VCS)-

oleh mbk Vita Chandra Shariie