Cerita Angin dan Sepenggal Doa Niala

Cerita Angin dan Sepenggal Doa Niala - Bel istirahat baru saja berbunyi nyaring, tapi Nia sudah dikerumuni teman-temannya.
“Nia, aku mau rasa kacang ijo ya. 2. Ini uangnya.” Ucap bocah perempuan berkuncir dua
“Eh Nia, uang kembalian ku mana?” sentak bocah perempuan lain yang berdiri di belakang Nia.
“Eh iya iya. Ini. Sabar ya teman-teman. Tangan Nia Cuma dua nih.” Jawab Nia di tengah kerepotan melayani para pelanggan kecilnya.
Tangan Nia bergerak cekatan mengambilkan es-es pesanan temannya dari kedua termos yang ada disampingnya. Itulah rutinitas Nia sehari-hari di sekolah. Selain belajar, dia juga “nyambi” menjajakan es lilin yang dibuat oleh Bu Lek-nya.
Kerongkongan Niala  bergerak naik turun saat melihat teman-temannya begitu nikmat memakan es lilin dagangannya. Gadis 8 tahun ini hanya bisa memegang dinginnya es-es yang ada di dalam termos. Rasanya ingin sekali dia mengambil sebuah, dan memakannya. Tapi nyalinya langsung ciut, saat teringat wajah garang bu lek-nya, yang mewanti-wanti agar dia tidak mengambil barang dagangannya satu-pun. “Awas ya Nia, kalau Es nya kau makan sendiri. Bu lek jewer nanti.”
Sungguh tak tega rasanya, melihat bocah manis itu terduduk di lantai sambil memandang teman-teman kecilnya penuh iri. Ku datangi gadis malang itu, dan ku belai lembut rambut hitam lurusnya. Namun dia diam.Tak bergeming.
***
“Sekarang kalian buat karangan bebas ya. Nanti ibu akan meminta kalian untuk membacakannya satu persatu, dimuka kelas.” Kata Bu Indah, wali kelas III A. 
Nia tampak serius merangkai kata-kata di atas buku tulisnya. Pensilnya bergerak begitu lihai, bak seorang penari balet. Sesekali ia berhenti menulis, menatap lurus ke depan atau menatap ke atas memandang langit-langit kelasnya yang bergambar awan. Mencoba berfikir, menggali ingatannya. Akhirnya karangan hasil goresan tangannya telah selesai. Tanpa disadari, Bu Indah telah berdiri di belakangnya. Membaca karangannya dengan penuh perhatian. Dia pun mengelus kepala Nia.
“Bagus sekali Nia. Apa kamu sudah selesai?” Tanya bu Indah dengan penuh kehangatan. Nia pun agak tersentak, tak menyangka wali kelasnya itu telah berada disana sedari tadi.
“Eh, iya Bu. Sudah.” Jawab Nia, seraya mendongak menatap wajah ayu Bu Indah.
“Coba bacakan di depan kelas, ya.” Pinta halus Bu Indah.
“Sekarang, Bu?”
Bu Indah mengangguk dan menggiring Nia maju ke depan papan tulis. “Anak-anak, sekarang dengarkan dulu ya. Nia sudah selesai membuat karangannya dan sekarang akan membacakan untuk kalian. Coba perhatikan baik-baik.”
Nia diam sesaat. Menunduk menatap buku tulis di tangannya. Lalu dia pun mulai bersuara.
Dulu, saat baru terbangun dari tidur. Saat ku membuka mata, wajah mama-lah yang pertama kali kulihat. Tangannya berada di kepalaku, sambil mengecup keningku. Lalu mama berkata, “Bangun sayang”.
Dulu, saat aku menangis, karena mendapat nilai jelek di ulangan matematika, mama mengusap pipiku dan berkata “tidak apa-apa sayang, yang penting Nia sudah belajar.”
Dulu, saat aku demam. Aku menggigil di pelukan mama. Aku lihat mama menangis di depanku. Dan dia berkata “sembuhlah anakku sayang.”
Ya Allah. Terlalu nakal-kah aku? Sehingga tak bisa kurasakan lagi semua itu?
Ya Allah. Terlalu nakal-kah aku? Sehingga kau ambil mama dariku? Ataukah kau ingin memiliki mama yang sangat baik seperti mama-ku?
Ya Allah .Terlalu nakal-kah aku? Sehingga papa juga harus pergi dan menitipkan aku disini?
Ya Allah . Terlalu nakal-kah aku? Sehingga kakak tidak betah jika harus selalu bersamaku?
Ya Allah. Jagalah mereka. Sebagaimana mereka dulu menjagaku. Dan aku akan selalu menunggu jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku pada-Mu.

Bu indah tampak berkaca-kaca. Dia sangat tersentuh dengan karangan Nia. Selain itu guru lajang berusia 25 tahun itu  juga mengetahui bagaimana cerita keluarga Nia yang dulunya tinggal di Surabaya, namun sepeninggal mama Nia, dia harus dititipkan di pelosok desa Kab. Madiun ini. Sedangkan papanya bekerja di luar jawa, dan kakak laki-laki satu-satunya harus sekolah dan bekerja di Bandung. Semua itu menambah haru perasaan bu Indah. Ingin rasanya dia berhambur dan memeluk murid kebanggaannya itu. Tapi ia redam keinginannya.
Ku menatapnya dari luar jendela. Sambil bertasbih ku berdoa, semoga Tuhan mengembalikan kebahagiannya kembali.
Sepulang sekolah, Nia tidak langsung pulang. Dia masih harus menjajakan es-es yang masih tersisa. Jika ia pulang, sedang termos tidak dalam keadaan kosong, alhasil bu leknya tak henti meracau di depan wajahnya. Tak hanya itu, makan siangnya pun bisa saja tanpa lauk.
Aku masih mengikutinya. Terkadang juga membisikinya. “Ayo semangat Nia”. Jalannya mulai terseok, teriknya matahari semakin tak bersahabat. Gadis bernama lengkap Niala Ahsani ini baru teringat, tadi pagi ia tak sempat sarapan, dan saat istirahat dia juga tak mengisi perutnya dengan apapun. “Berhentilah dulu Nia, daripada nanti kau pingsan.” bisikku sekali lagi tepat di kuping kanannya.
Dia terduduk di bawah pohon-pohon bambu, atau yang biasa disebut “barongan”.Ia selonjorkan kakinya. Tangannya membuka tutup termos. “Ahh masih sisa sepuluh”. Desahnya. Ia bingung kemana lagi harus melangkah, sedangkan perutnya sudah terasa perih, dan kepalanya mulai pening. Matahari juga tak berbelas kasihan,sinarnya masih memanaskan bumi dengan sombongnya. Akhirnya ia putuskan pulang, terserah apa yang dikatakan bu leknya nanti, toh dia sudah terbiasa.

Oleh mbk Vita Chandra Shariie, Sidoarjo

ingin tahu kelanjutan cerita Angin dan Sepenggal Doa Niala  ikuti terus di demicerita.blogspot.com