Letters to My Wind

Cerita Letters to My Wind  - Banyak orang beranggapan bahwa cinta dan jodoh itu berbanding lurus. Mereka percaya bahwa Allah menciptakan manusia dengan berpasang – pasangan. Dan berpendapat, bahwa jodoh harus dicari. But, It’s not me!
 
Jodoh itu sesuatu yang unik. Seperti Menara Eiffel dengan Paris, aku dengan mama dan papa, langit dengan awannya, dan seperti aku mengenalmu. Menurutku, itu sudah dikatakan jodoh. Dimana takdir menjadikan sesuatu lengkap atas sesuatu yang lain. Dimana kekurangan dan kelebihan melebur jadi sesuatu yang indah. Dan soal jodoh dan cinta yang mereka katakan sebagai pasangan hidup itu, aku tak sepenuhnya sependapat. Bagiku, pernikahan belum tentu menjadikan satu individu dengan yang lainnya itu jodoh, dan saling mencintai. Bagaimana bisa Nabi Nuh dan Nabi Luth dikatakan jodoh dengan istri mereka, apabila jalan yang mereka tempuh, berbeda. Apabila satu dengan yang lainnya, saling merintangi. Jodoh itu, adalah mereka yang bisa mendampingi kita di taman surgaNya nanti, dengan cinta yang tulus padaNya atas diri kita.

Namaku, Stella. 

Akhir – akhir ini, entah mengapa langit seolah ingin kembali membuatku mendung. Tumpukan note dan surat di laci meja belajarku yang sempat ku baca tadi pagi, membawa ingatanku jauh melayang pada masa lalu. Saat nama, kata, dan candanya masih bisa dengar. 

Surat - surat kecil yang tak akan pernah beralamat ini, menjadi ‘perantara’ seluruh cerita hariku pada sahabat kecilku, pada orang yang yang ku panggil ‘Kakek’ atau ‘Kung’, dan pada orang yang untuk pertama  kalinya mengukir hati ini. Meski parahnya, jarak dan waktu, mungkin tak akan menjadikan kami utuh untuk kedua kalinya.

Insyaallah masih bersambung, ikuti terus Cerita Letters to My Wind di demicerita.blogsspot.com


oleh Anindya Dyah Widiandani PPM Khoirul Huda Surabaya